Beberapa
waktu lalu, tepatnya pada tanggal 1 syawwal 1436 Hijriyah atau bertepatan
dengan hari raya Idul Fitri, saudara kita di Tolikara mendapat perlakukan yang
melanggar toleransi umat beragama. Shalat Idul Fitri dibubarkan, dan sebuah
Masjid dibakar. Kabar yang menyebar dengan cepat, tersalur secara viral via
media sosial. Beberapa kawan langsung percaya, beberapa lagi menyatakan itu
hoax (alias kabar palsu). Sampai kemudian diketahui hal tersebut benar-benar
terjadi!
Apa reaksi
umat Islam? Tentu marah dan geram. Berbagai gerakan bermunculan untuk membantu
muslim di sana. Penggalangan dana sampai rerasan mau mengirim pasukan! Setelah itu?
Senyap! Hal persis yang dialami oleh Saudara kita di Palestina yang setiap hari
berjuang melawan penjajah Israel. Kepedulian kadang terpantik ketika mereka
diserang dan korban berjatuhan. Setelah itu? Sunyi! Pun dengan saudara kita di
Rohingya yang terus menderita dalam rezim pemerintahan Myanmar.
Tetapi
tahukah, jika perjuangan mereka terus berlangsung dan butuh kepedulian kita
secara konsisten, bukan hanya reaksi sesaat. Bahkan di sekitar kita pun mungkin
ada orang-orang yang butuh pendampingan dan bantuan untuk mempertahankan hidup
dan akidahnya. Persoalannya adalah seberapa kuat tingkat kepekaan kita. Apakah kita
hanya akan menjadi salih dalam ruang kamar? Atau ruang masjid/mushola? Ataukah
kita akan menyebarkan kemanfaatan bagi semesta?
Tentu
itu pilihan pribadi kita. Hanya saja, jika pun ada seorang yang saleh di tengah
masyarakat yang kufur. Terkadang bencana tak memilih. Semua disamakan dalam
kondisi tertentu. Saat sang shalih tak tergerak hati untuk mencerahkan
lingkungan sekitarnya. Sekecil apapun, semampunya.
Kita
butuh kekonsistenan untuk memperhatikan dakwah di Papua (Nuu Waar), di
Palestina, di Rohingya. Kita butuh kekonsistenan dakwah di lingkungan kita. Kita
butuh kekonsistenan dalam berbaik. Dalam istilah populer, aja leren dadi wong
apik (jangan berhenti menjadi orang baik).