ANTARA AMAL SHALIH DAN AMAL TOLEH (2)

bag 1 klik 

ANTARA AMAL SHALIH DAN AMAL TOLEH (2)
MU’AMMAL HAMIDY, LC

Karena semuanya ini berinteraksi dengan sesama manusia, yang notabene manusia tidak luput dari kekeliruan dan kesalahan  (mahallul khathai wan nis-yan), maka dibuatlah hukumhukum yang berkenaan dengan interaksi ini, seperti : Hukum Perkawinan,  Hukum Dagang, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional dsb. lengkap dengan sanksinya. 

(3). Ihsan 
Ihsan berasal dari kata hasuna yang artinya baik. Kemudian mendapat awalan ah sehingga menjadi ahsana - ihsanan, berarti berbuat baik. Berbuat  baik yang dimaksud adalaah melaksanakan semua bentuk kebajikan secara optimal, tidak sekedar asal-asalan. Dalam bahasa  Arab disebut “ahsan” (yang paling bagus). Agaknya ada kemiripan dengan ihsan dari kata ahsana. Yang membedakan, yang  pertama disebut fi’il (kata kerja), dan yang kedua disebut isim (kata sifat). Ihsan dengan pengertiannya seperti itu berdasar  sebuah Hadits Nabi saw: 

Artinya: Saddad bin Aus mengatakan: Ada dua hal yang benar-benar kuhafal dari sabda Rasulullah  saw, yaitu: Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berbuat baik dalam semua hal, karena itu jika kamu membunuh maka  bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih  maka sembelihlah dengan cara yang baik  pula, yaitu tajamkanlah pisaumu, maka dengan begitu akan meringankan  hewan yang kamu sembelih itu” . (HR Bukhari) 

Dan yang paling optimal adalah keikhlasannya kepada Allah.  ehingga seluruh  perilakunya mengacu pada aturan Allah. Nabi saw pernah ditanya Jibril perihal pengertian ihsan? Maka jawab  beliau: 

Artinya: Hendaklah engkau menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat- Nya, sekalipun engkau tidak  apat melihat-Nya, namun Dia tetap melihatmu. (HR Bukahri) 

Dari ihsan ini akan lahirlah akhlak mulia,  karena dia selalu merasa  diawasi oleh Allah, sehingga dia khawatir kalau-kalau perilakunya itu salah, dan akan mendapatkan kutukan- Nya.

Itulah  tiga standar dalam menilai suatu perbuatan itu shalih atau thaleh, baik atau buruk. Dari tiga standar perilaku di atas, dapat kita simpulkan, bahwa amal shalih atau perilaku shalih adalah suatu amal yang dilandasi iman, mengacu pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta diniati keikhlasan demi mencari ridla Allah. Ketiga-tiganya itu harus bersama-sama, tidak  epenggalsepenggal  atau sepotong-sepotong. Salah satu saja tidak ada, maka amalan atau prilaku tersebut tidak dapat dinilai  shalih.  Tetapi disebut thaleh. Kan’an, putera Nabi Nuh as oleh Allah dikatakan: “innahu ‘amalun ghairu shaleh” (sesungguhnya dia tergolong beramal yang tidak shalih).  Q.s. Yunus 70, juga Abu Thalib, pamanda Nabi Muhammad saw yang banyak berjasa bagi Nabi saw juga dinilai tidak shalih, adalah karena mereka tidak beriman kepada Nabi, Kan’an tidak beriman kepada  bapaknya, sedang Abu Thalib tidak beriman kepada  keponakannya. 

Dan ketiga unsur itu pula yang kita jadikan ukuran menilai  keshalihan dan ketidak shalihan seeorang, bukan karena  keilmuan maupun kemasyhurannya. 

Kalau Hadits yang kita kutip di  atas menyuruh kita supaya membawa janazah itu dengan cepat, agar yang kebetulan shalih segera dapat merasakan  kenikmatan, sedang yang thaleh agar kita tidak lamalama terbeban, maka besar kemungkinan  kethalehannya itu adalah karena  hilangnyasalah satu dari tiga unsur: iman - takwa – ihsan. Sedang yang shalih adalah karena terpenuhinya tiga unsur tesebut  dengan optimal. Semoga Allah menjadikan kita  mukmin yang shalihin, muttaqin dan  muhsinin. Amin. 

Wallahu a’lam.l    
SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010

Bolehkah Ongkos Naik Haji (ONH) Dengan Cara Berhutang di Bank ?



Penanya:
Ny. Raning M, Suruh, Salatiga, Jawa Tengah
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya ONH dengan cara hutang bank?
2. Siksa apa yang kami alami di tanah suci nanti?
3. Apakah lebih baik kami pergi haji menunggu warisan peninggalan orang tua laku dijual, karena kapan lakuknya kami belum tahu mengingat bentuknya tanah, sawah dan rumah?
4. Kalau menurut bapak/ibu cara ini (hutang bank) tidak baik, kami siap mengundurkan diri secepatnya mencabut ONH itu.
Demikian pertanyaan-pertanyaan kami, semoga bapak/ibu berkenan menjawab secepatnya. Semoga jawaban bapak/ibu dicatat Allah sebagai amal ibadah. Amin. Terima kasih.


Jawaban:
Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang ibu sampaikan kepada kami. Untuk menjawab beberapa pertanyaan dari ibu kami berusaha menjawabnya dengan menyatukannya dalam satu jawaban.
Pada dasarnya, naik haji itu tidak wajib hukumnya atas orang yang belum mempunyai isthitha’ah (kemampuan), sebagaimana firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [QS. Ali Imran, 3: 97].

Salah satu arti isthita’ah di sini adalah kemampuan dari aspek keuangan atau biaya menjalankan ibadah haji, yang lebih populer dengan istilah Ongkos Naik Haji (ONH). Jadi jika seseorang, -termasuk ibu dan suami,- belum mempunyai biaya untuk ONH, maka tidak wajib hukumnya menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu kami menganjurkan supaya tidak perlu berhutang hanya karena untuk mengerjakan sesuatu yang belum menjadi kewajiban ibu. Apalagi jika hutang tersebut kepada bank atau siapa saja yang ada syarat harus membayar bunga, karena bunga oleh banyak ulama disamakan dengan riba yang justru dapat memberatkan pembayarannya di kemudian hari. Dengan demikian, menurut pendapat kami sebaiknya ibu membatalkan pinjaman bank untuk ONH tersebut dan menunggu harta warisan orang tua terjual atau mengusahakan cara-cara yang yang jelas-jelas halal untuk menunaikan ibadah haji. Semoga niat suci ibu dan suami untuk naik haji diterima, dimudahkan jalannya dan dikabulkan oleh Allah SWT. Amin. Wallahu a’lam bish-shawab. *mi

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
http://www.fatwatarjih.com

Sudah Saatnya Muhammadiyah Mewarnai Dakwah di Dunia Sepakbola

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Membuka Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Dakwah Melalui Sepakbola”, Jum’at (8/3) Ketua PP Muhammadiyah, Hajriyanto Thohari menyampaikan perlunya Muhammadiyah menimbang kembali dan memaksimalkan peran dakwah melalui sepakbola.
“Sepakbola bisa menjadi instrumen banyak hal negatif maupun positif, termasuk dakwah, bahkan pembangunan karakter. Setelah pertandingan ujicoba dengan Indonesia pada 2010, pelatih Uruguay Oscar Tabarez berpesan agar Indonesia fokus pada pembinaan usia belia dan pengajaran cinta bangsa. Artinya Tabarez tidak melihat adanya nasionalisme dari cara-cara bermain bola pemain Indonesia. Ini soal pembangunan karakter, tidak heran jika dahulu Kyai Ahmad Dahlan menyukai sepakbola,” ungkap Hajriyanto.
Peran yang dimaksud Hajriyanto adalah kejelian Kyai Ahmad Dahlan dalam memilih sarana dakwah dengan cara yang menggembirakan. Dalam pengajian yang diselenggarakan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Jakarta Pusat tersebut, Hajriyanto turut menyinggung soal peran Muhammadiyah dalam sejarah sepakbola di Indonesia.
“Muhammadiyah pertama kali mendirikan sepakbola yaitu 1918 bernama PS Hizbul Wathan. Bahkan pendiri PSSI, bersama Soeratin salah satunya adalah Abdul Hamid, anggota Pengurus Besar Muhammadiyah. Belum lagi Djamiat Dahlar, dan lainnya. Jadi Muhammadiyah sudah modern betul pada masa itu, ketika yang lain belum modern. Banyak wilayah Muhammadiyah yang punya lapangan sepakbola, sementara negara saja belum punya,” ungkap Hajriyanto.
Menyambung Hajriyanto, praktisi sepakbola nasional Ahmad Syauqi Soeratno menyebut bahwa yang dimaksud adalah lapangan ASRI Yogyakarta, yang dihasilkan dari patungan warga Muhammadiyah dan dirancang oleh pendiri PSSI sekaligus kawan Kyai Ahmad Dahlan, Ir. Soeratin Sosrosugondo.
“Sepakbola menjadi satu jenis olahraga yang magnitude attractionnya sangat tinggi. Dari yang di dalam lapangan sampai di luar lapangan. Kaitannya dengan dakwah 19 april 1930 saat PSSI lahir, saat itu keterlibatan pendahulu kita di persyarikatan dalam melawan Belanda kuat sekali. Sejak awal Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari olahraga sepakbola,” ungkap Syauqi.
Dakwah di Dalam Sepakbola Adalah Kebutuhan
Terkait tema, Pelatih Timnas U-22 Indra Sjafri melalui sambungan suara menyampaikan bahwa nilai-nilai dakwah dalam sepakbola bukanlah hal yang naif.
“Dari 2011 sampai sekarang saya keluar masuk Timnas, kepada pemain saya lebih pada pembelajaran riil tentang agama, saya ajarkan pentingnya niat, keikhlasan, kesabaran dan keyakinan. Contoh kesabaran di sepakbola itu ada caci maki, bully, dan kita bisa tanggapi selaras dengan perintah agama, itu yang saya buka,” ujar Indra.
Senada dengan Indra, pengamat sepakbola dari MNC Group Ma’ruf El-Rumi menegaskan bahwa sudah saatnya Muhammadiyah mewarnai dakwah di dunia sepakbola. Ma’ruf menyayangkan jika umat Islam terkesan abai terhadap dakwah di sepakbola.
“Dalam sejarahnya, sepakbola dipopulerkan oleh gereja untuk mengubah gaya hidup yang negatif ke positif. Kristen sudah melakukan dakwah. Umat Islam juga harus ikut mewarnai dalam arti yang positif. Pogba, Kante, Salah adalah contohnya,” terang Ma’ruf.
Keberhasilan dakwah melalui sikap dan prestasi itu bahkan menurut Ma’ruf berhasil mengubah tradisi pemberian bir kepada Pemain Terbaik Setiap Bulan di Inggris dan beberapa negara lainnya menjadi pemberian piala untuk menghormati pemain muslim.
“Yaya Toure ketika mendapatkan gelar Man of The Month menolak sampagne (bir) termasuk Ribery, Inggris sekarang tidak memakai sampagne tapi memberikan trofi piala. Itu dari mana? Bukan dari kita yang bilang ini haram atau tidak, tapi dari perbuatan atlit muslim. Kita membayangkan jika umat muslim tidak berpartisipasi maka tidak ada perubahan. Kalau kita antipati dan tidak mau terjun tidak akan ada perubahan,” pungkas Ma’ruf. (Afandi)
sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-16128-detail-sudah-saatnya-muhammadiyah-mewarnai-dakwah-di-dunia-sepakbola.html

Haedar Nashir: Jaga Prinsip dan Kebesaran Muhammadiyah


Tahun politik khususnya dalam Pemilihan Presiden 2019 telah melibatkan warga dan komponen bangsa untuk terlibat dalam partisipasi politik secara aktif. Disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir,  hal itu merupakan bagian dari demokrasi.
Tidak kecuali bagi anggota Muhammadiyah sebagai warga negara. Muhammadiyah sendiri menghargai partisipasi anggotanya, dalam partisipasi demokrasi lima tahunan tersebut. Namun harap diingat dengan seksama posisi Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki Kepribadian, Khittah, dan Ketentuan Organsisasi yang mengikat seluruh anggota termasuk kader dan pimpinannya untuk tidak dilibatkan dalam aktivitas politik praktis. 
“Para anggota yang terlibat dalam politik praktis pun jangan membawa nama dan segala hal yang berkaitan dengan institusi Muhammadiyah. Kedepankan diri sebagai warga negara, bukan sebagai Muhammadiyah,” jelas Haedar pada Selasa (5/3). 
Haedar berpesan agar kegairahan dukung mendukung calon dalam Pilpres jangan sampai keluar dari dan prinsip Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam kepribadian, khittah, dan koridor lainnya yang menjadi pedoman bagi anggota Persyarikatan. “Jangan terbawa arus pihak lain yang memang bergerak dalam lapangan politik praktis dan organisasi pemenangan, yang bukan menjadi bagian dari organ dan aktivitas Muhammadiyah. Bersikaplah seksama sesuai garis atau prinsip Persyarikatan,” ucap Haedar.  
Kegairahan berpolitik warga atau kader dan pimpinan di lingkungan Muhammadiyah jangan melebihi mereka yang berada di partai politik atau lingkaran pemenangan. Partai politik saja tampak santai dan fleksibel dalam memberikan dukungan politik, karena mereka tahu liku-likunya berpolitik. 
“Warga Persyarikatan mesti proporsional, seksama, dan jangan sampai termobilisasi oleh pihak lain yang dapat merugikan Muhammadiyah,” tegas Haedar. Karenanya, setiap anggota lebih-lebih pimpinan dan kader hendaknya bersikap seksama dalam menjaga marwah dan prinsip-prinsip Muhammadiyah lebih dari segalanya. 
“Muhammadiyah itu amanat yang besar dengan segala potensi, amal usaha, aset, dan kepercayaan yang tidak dapat diperbandingkan dengan yang lainnya. Jangan korbankan organisasi yang luar biasa berharga ini dengan kepentingan politik sesaat yang tidak tahu persis dinamika kepentingan dan akhir ceritanya,” tutur Haedar.  
Diakhir Haedar juga menyampaikan, kepada Pimpinan Persyarikatan dari Pusat sampai Ranting bersama Organisasi Otonom, Majelis, Lembaga, Amal Usha, dan institusi lainnya di lingkungan Muhammadiyah hendaknya benar-benar menegakkan prinsip dan pedoman organsiasi menghadapi tahun politik yang  sarat tarik menarik kepentingan dan tidak sederhana ini. 
“Jaga Persyarikatan warisan Kyai Haji Ahmad Dahlan yang sangat besar dan berharga ini dengan sebaik-baiknya. Jika bukan kita para pimpinan, kader, dan anggota Persyarikatan yang menjaganya maka siapa lagi yang akan menjaga serta menegakkan prinsip dan kebesaran Muhammadiyah ini?,” tutup Haedar. 
(muhammadiyah.or.id) 

Din Syamsuddin : Kata “Kafir” Disebut 525 kali Dalam Al Quran

Prof Din Syamsuddin


Oleh : M.Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat

Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung karena khawatir polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan. Semula saya berharap segenap elemen umat agar menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yg sensitif sekarang ini. Pada hemat saya, topik seperti tentang kafir dan semacamnya bisa ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi karena sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan sebagai berikut:
  1. Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) karena kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik. Polemik berkembang rancu, baik karena penjelasan publik awal dari Munas Ulama NU ada mengaitkan keduanya (“dlm kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah kafir tapi muwathin”), dan polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan asumsi bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut).
  2. Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur’an adalah “dalalah Ilahiyah” (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur manusia tertentu. Al-Qur’an memang ada menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tapi banyak dalam nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).
  3. Karenanya, kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dengan pandangan ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan). Sesuai arti harfiyahnya yaitu “menutup”, maka kafir menunjukkan perilaku menutup diri, tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran tentang Allah dan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan sebagai wahyu kepada manusia melalui rasul-rasul pilihanNya. Dalam hal ini, kafir bisa dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah dan ajaran-ajaranNya, atau kepada mereka yang walaupun beriman kepada Allah tapi membangkangi ajaran-ajaranNya dan tidak bersyukur atas nikmatNya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat). Al-Qur’an juga mengenalkan konsep2 etis lain yg berhubungan dgn konsep kafir, seperti musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya menurut ahli keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep etika keagamaan) dalam Islam.
  4. Sebagai konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepada manusia yang tidak beriman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir adalah penganut keyakinan selain atau di luar Islam. Sebenarnya istilah tentang “orang luar” ini biasa dalam setiap agama yang memiliki kriteria keyakinan (bench marking of belief). Orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others). Semua agama, seperti Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, memiliki istilah atau konsep tentang “orang luar” dan “orang lain” ini dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak menimbulkan keberatan dari pihak lain, baik karena memakluminya maupun karena memang mereka merasa bukan “orang dalam” lingkaran keyakinan tersebut. Masalah akan muncul jika istilah semacam kafir tersebut dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yg bersifat menghina atau menista.
  5. Dalam Sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dengan pemeluk agama-agama lain yang ada waktu itu seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Mereka disebut dgn nama komunitas keagamaannya masing2, atau terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai “Penerima Kitab” (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar akidah Islam tidak menjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman terhadap orang luar Islam (konsep). Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia, pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap “pihak lain atau pihak luar”, seperti pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak populer di ruang publik. Bahkan sekarang, pada era dialog dan kerjasama antaragama, baik pada skala global maupun nasional, sering dipakai istilah “pemeluk agama lain” seperti non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dstnya, bahkan istilah Bahasa Inggris yang sering dipakai sekarang adalah the other faiths (pemeluk agama2 lain). Jelasnya, istilah/konsep kafir yang tidak mungkin dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.
  6. Istilah atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) adalah lain. Konsep ini sudah lama ada sejalan dengan pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada sejak pembahasan tentang konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf seperti Socrates, Plato, atau Aristoteles). Konsep itu (belum dengan istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim seperti Ibnul Muqaffa’, Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi’, Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut mempengaruhi konseptualisasi pemikir politik Barat seperti Montesqiu, John Lock, atau Hegel. Pemikiran politik tentang negara dan warga negara ini berkembang hingga masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, hingga Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan). Pemikir politik Muslim kontemporer, seperti Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mengemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sbg padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan bersama).
  7. Dalam Pesan Bogor yg dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 tentang Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yg pertama: i’tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah). Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran serta aktif membangun negara. Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman tentang dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah.
  8. Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial. Arus migrasi antarnegara terakhir ini membawa munculnya masalah identitas dan integrasi kaum migran. Maka isu muwathanah/citizenship menjadi krusial dan polemikal seperti yg terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dengan membanjirnya arus migrasi dari negara-negara di Timur Tengah.
  9. Dalam konteks Indonesia isu muwathanah/kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama selesai (bukan menjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia dari awal kelahirannya sdh memiliki kesepakatan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yg oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Pebruari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai agama. Sebelumnya, pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila adalah Darul ‘Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia dan sudah lama dipraktekkan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Derajat stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi adalah buah dari muwathanah yang bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerjasama antaranak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan eksklusi lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.
  10. Implementasi muwathanah/kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi “political liberty and equality” (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi (performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual. Sebagai konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat isu mayoritas-minoritas sebagai realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, jika realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dengan realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat kultural. Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal Democracy) yang antara lain mendesakkan psudo meritokrasi, ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya. Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami. Maka pada hemat saya, tafsir jama’i terhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat isu muwathin/warga negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir terutama pada suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semestinya. Di sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep teologis-etis.
  11. Tapi mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka adalah sesama rakyat warga negara atau muwathin). Kalau demikian adanya, maka itu merupakan “pandangan hukum keagamaan atau fatwa”. Oleh karena itu terserah kepada “pasar bebas”, mau membeli atau menolak. Maka tidak usah ribut dan repot. Suatu hal positif dari pandangan demikian adalah pesan moral “jangan mudah menuduh dan melabeli pihak lain secara berburuk sangka, karena itu tidak bermoral atau mencerminkan moralitas superior dan arogan”. Maka, kepada umat Islam, mulai sekarang jangan ada lagi yg saling mengkafirkan, saling menghina seperti kamu Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)! Sesuai Firman Ilahi, “yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina”. Allahu a’lam bis shawab.
Yangon, 5 Maret 2019.
sumber : https://sangpencerah.id/2019/03/din-syamsuddin-kata-kafir-disebut-525-kali-dalam-al-quran/

Spirit Kedermawanan Harta KH. Ahmad Dahlan


Oleh :Saladin Albany, M.Pd (MPK PDM Jogja)
Ahmad Dahlan mengajukan pertanyaan tentang hal ini, apakah engkau berani membuang kebiasaan mencintai harta benda? Beranikah engkau menjalankan agama Islam dengan sesungguhnya, dengan menyerahkan harta bendamu, dirimu dibawah perintah Allah? Beranikah engkau mengorbankan harta bendamu kepada jalan Allah? Apakah kamu tidak akan takut akan siksa Allah dihari kiamat? Apakah tidak kamu fikirkan akibat yang akan menimpa pada dirimu? [1].
Saat itu pada tahun 1921, muridnya bernama KHR. Hadjid selalu malu, takut dan segan mendekati KH. Ahmad Dahlan. Saat itu kamu muridnya merasa belum Islam, walaupun sudah membaca dua kalimat syahadat dan sudah menjalankan shalat 5 waktu. Akan tetapi sering munculnya pengakuan dalam hati kami bahwa aku orang yang beragama, yang telah Islam, yang telah shalat. Dengan dasar ini aku melanjutkan pertanyaan, siapakah dengan shalat dan syahadat yang ada padaku itu belum juga diakui sebagai orang yang menjalankan agama? Saat itu KH. Ahmad Dahlan menjawab, cobalah kau fikirkan dengan sungguh-sungguh surat al-Ma’un[2].
Sejak saat itu al-Ma’un menjadi spirit pemberdayaan umat oleh KH. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya. Keberhasilan beliau dalam menyadarkan muridnya dalam praktek pembelajaran sejalan dengan teori metode dialog dalam pembelajaran pendidikan Islam, Metode yang berdasarkan pada dialog, perbincangan melalui tanya jawab untuk sampai kepada pemahaman yang jelas. Metode ini sangat berguna untuk menjelaskan fenomena sosial dan memantapkan perkara kewajiban.
Beliau pernah berkata, apakah kita mengaku sebagai orang yang beragama? Sudahkah kita ingat kepada Allah dan mengerjakan shalat? Sudah jelas dalam surat al-Ma’un ini bahwa kita belum diakui telah beriman dan menjalankan agama bahkan dianggap sebagai orang yang mendustakan agama jika masih mencintai kebiasaan, cinta harta benda dan tidak memperhatikan nasib anak yatim serta tidak menganjurkan memberikan makanan kepada orang miskin[3].
Suatu ketika saat pengajian subuh, berulang kali KH. Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat al-Ma’un, hingga beberapa pagi hari tidak ada penambahan materi. Saat itu murid beliau bernama Soedja bertanya, kyai mengapa pelajaranya tidak ada penambahan? Kemudian KH. Ahmad Dahlan menjawab, apa kamu sudah mengerti betul? Soedja menjawab, kami sudah hafal semua kyai. Kemudian KH. Ahmad Dahlan menjawab, kalau sudah hafal apa sudah kamu amalkan? Soedja menjawab, apanya yang diamalkan? Bukankah surat al-Ma’un pun berulang kali kami baca untuk rangkapan fatihah dikala kami shalat? KH. Ahmad Dahlan menjawab, bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan artinya dipraktekan, dikerjakan. Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu mulai pagi ini saudara-saudara agar pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat bawa pulanglah ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur dirumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup dan saudara-saudara melakukan petunjuk saya tadi[4].
Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah. KH. Ahmad Dahlan memberikan nilai bagi moral seorang pemimpin. Seorang yang dapat menjaga stabilnya kehidupan, menjaga kesejahteraan. Namun perilaku buruk akan menghampiri seorang pemimpin manakala mereka tidak siap secara iman dan akal untuk istiqomah menjaga kesejahteraan tersebut.

Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran
Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran (Sumber gambar : klik disini)

Beliau berkata, “Cobalah engkau fikirkan dengan sungguh-sungguh, apakah orang yang mempunyai keinginan mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan dunia bisa berhasil maksudnya dengan tidak bekerja yang sungguh-sungguh? Sudah tentu tidak akan berhasil. Dan juga sudah ada yang merasa bekerja dengan sungguh-sungguh akhirnya tidak berhasil, apalagi tidak bekerja. Sedang yang bekerja saja belum tentu berhasil. Orang yang hendak mencari keduniaan tidak akan berhasil jika tidak dengan sungguh-sungguh. Maka demikian pula orang yang hendak mencari surga, tentu tidak akan berhasil masuk surga apabila tidak berani jihad yaitu bersungguh-sungguh dalam membela agama Allah dengan penuh pengorbanan jiwa, raga dan harta benda[5]“.
  • [1]KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan…., hlm. 62
  • [2]Ibid.,
  • [3]Ibid., hlm. 64
  • [4]Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan…, hlm.60.
  • [5]KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan…., hlm. 118
 SUMBER  Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Bina Kader Majalah Mentari Bulan 8 Tahun 2018, dimuat kembali untuk tujuan dakwah