Oleh :Saladin Albany, M.Pd (MPK PDM Jogja)
Ahmad Dahlan mengajukan pertanyaan tentang hal ini, apakah engkau berani membuang kebiasaan mencintai harta benda? Beranikah engkau menjalankan agama Islam dengan sesungguhnya, dengan menyerahkan harta bendamu, dirimu dibawah perintah Allah? Beranikah engkau mengorbankan harta bendamu kepada jalan Allah? Apakah kamu tidak akan takut akan siksa Allah dihari kiamat? Apakah tidak kamu fikirkan akibat yang akan menimpa pada dirimu? [1].
Saat itu pada tahun 1921, muridnya bernama KHR. Hadjid selalu malu, takut dan segan mendekati KH. Ahmad Dahlan. Saat itu kamu muridnya merasa belum Islam, walaupun sudah membaca dua kalimat syahadat dan sudah menjalankan shalat 5 waktu. Akan tetapi sering munculnya pengakuan dalam hati kami bahwa aku orang yang beragama, yang telah Islam, yang telah shalat. Dengan dasar ini aku melanjutkan pertanyaan, siapakah dengan shalat dan syahadat yang ada padaku itu belum juga diakui sebagai orang yang menjalankan agama? Saat itu KH. Ahmad Dahlan menjawab, cobalah kau fikirkan dengan sungguh-sungguh surat al-Ma’un[2].
Sejak saat itu al-Ma’un menjadi spirit pemberdayaan umat oleh KH. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya. Keberhasilan beliau dalam menyadarkan muridnya dalam praktek pembelajaran sejalan dengan teori metode dialog dalam pembelajaran pendidikan Islam, Metode yang berdasarkan pada dialog, perbincangan melalui tanya jawab untuk sampai kepada pemahaman yang jelas. Metode ini sangat berguna untuk menjelaskan fenomena sosial dan memantapkan perkara kewajiban.
Beliau pernah berkata, apakah kita mengaku sebagai orang yang beragama? Sudahkah kita ingat kepada Allah dan mengerjakan shalat? Sudah jelas dalam surat al-Ma’un ini bahwa kita belum diakui telah beriman dan menjalankan agama bahkan dianggap sebagai orang yang mendustakan agama jika masih mencintai kebiasaan, cinta harta benda dan tidak memperhatikan nasib anak yatim serta tidak menganjurkan memberikan makanan kepada orang miskin[3].
Suatu ketika saat pengajian subuh, berulang kali KH. Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat al-Ma’un, hingga beberapa pagi hari tidak ada penambahan materi. Saat itu murid beliau bernama Soedja bertanya, kyai mengapa pelajaranya tidak ada penambahan? Kemudian KH. Ahmad Dahlan menjawab, apa kamu sudah mengerti betul? Soedja menjawab, kami sudah hafal semua kyai. Kemudian KH. Ahmad Dahlan menjawab, kalau sudah hafal apa sudah kamu amalkan? Soedja menjawab, apanya yang diamalkan? Bukankah surat al-Ma’un pun berulang kali kami baca untuk rangkapan fatihah dikala kami shalat? KH. Ahmad Dahlan menjawab, bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan artinya dipraktekan, dikerjakan. Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu mulai pagi ini saudara-saudara agar pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat bawa pulanglah ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur dirumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup dan saudara-saudara melakukan petunjuk saya tadi[4].
Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah. KH. Ahmad Dahlan memberikan nilai bagi moral seorang pemimpin. Seorang yang dapat menjaga stabilnya kehidupan, menjaga kesejahteraan. Namun perilaku buruk akan menghampiri seorang pemimpin manakala mereka tidak siap secara iman dan akal untuk istiqomah menjaga kesejahteraan tersebut.

Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran
Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran (Sumber gambar : klik disini)

Beliau berkata, “Cobalah engkau fikirkan dengan sungguh-sungguh, apakah orang yang mempunyai keinginan mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan dunia bisa berhasil maksudnya dengan tidak bekerja yang sungguh-sungguh? Sudah tentu tidak akan berhasil. Dan juga sudah ada yang merasa bekerja dengan sungguh-sungguh akhirnya tidak berhasil, apalagi tidak bekerja. Sedang yang bekerja saja belum tentu berhasil. Orang yang hendak mencari keduniaan tidak akan berhasil jika tidak dengan sungguh-sungguh. Maka demikian pula orang yang hendak mencari surga, tentu tidak akan berhasil masuk surga apabila tidak berani jihad yaitu bersungguh-sungguh dalam membela agama Allah dengan penuh pengorbanan jiwa, raga dan harta benda[5]“.
  • [1]KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan…., hlm. 62
  • [2]Ibid.,
  • [3]Ibid., hlm. 64
  • [4]Yunus Salam, KH. Ahmad Dahlan…, hlm.60.
  • [5]KRH. Hadjid, Pelajaran KH. Ahmad Dahlan…., hlm. 118
 SUMBER  Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Bina Kader Majalah Mentari Bulan 8 Tahun 2018, dimuat kembali untuk tujuan dakwah